Pertama kali menyaksikan trailer film “3” di televisi, saya langsung
bertekad ingin menontonnya. Selain cuplikan-cuplikan adegan yang langsung “membekas”,
di sana ada bintang favorit saya, Prisia Nasution, Tika Bravani dan Abimana. Apalagi,
berdasarkan pengalaman, film Indonesia yang bagus (semacam Sang Penari dan Sang
Kyai) jarang yang diputar di layar kaca maupun dijual dalam bentuk DVD.
Well, semenjak menit pertama film ini diputar, saya semakin yakin
keputusan saya tepat. Setelah film “Killer” (2014), film ini adalah film
produksi Indonesia kedua yang membuat saya tak henti-hentinya menahan napas dan
tak berkedip selama menontonnya. Tak hanya itu, sepanjang film pula saya
merasakan keterkejutan sementara otak
saya aktif mengaitkan simbol-simbol yang terpampang di layar raksasa yang
terbentang di hadapan saya.
“Dunia ini bergerak dalam bentuk 3 dimensi. Jadi kita seharusnya bisa melihat setiap masalah dari tiga sudut pandang yang berbeda.”
Kutipan dialog yang diucapkan Lam, salah satu tokoh dalam film ini
menjadi panduan bagi saya dalam mengikuti alur film ini. Selayaknya kita memang
tidak melihat suatu hal sebagai kebenaran mutlak--dari satu sisi saja, apalagi di saat “kebenaran” bisa
dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, sebagaimana yang kita
lihat dalam film berdurasi 122 menit ini.
Dikisahkan, di tahun 2036, kondisi dunia, khususnya Indonesia
semakin carut marut. Memang, di permukaannya, negara kita—yang sudah
benar-benar menjadi negara liberal—seolah terlihat damai dan sangat menjunjung
tinggi HAM. Namun kenyataannya, tindak kriminal justru didalangi dan
dilaksanakan oleh para penegak hukum. Sementara agama dinilai sebagai sumber
petaka dan simbol keagamaan pun menjadi momok yang menyeramkan tatkala
ditunjukkan di tempat umum; bahkan mengucapkan salam pun langsung membuat kita
dicurigai. Pemberitaan media dapat dengan mudah disetir oleh tangan yang
berkuasa. Pendeknya, sungguh sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Di tengah situasi tersebut, hanya segelintir orang yang masih
menjalankan ibadah sesuai agamanya. Alif, Lam, dan Mim adalah beberapa di
antara golongan minoritas itu.
Alif Lam dan Mim merupakan sosok santri yang dipersatukan dalam
padepokan bela diri dan mengaji di pondok pesantren Al-Ikhlas di bawah asuhan
Kyai Mukhlis. Konflik bermula saat rumah Alif dibakar oleh sekelompok fanatik
bersorban merah dan orang tuanya dibunuh. Tak lama, padepokan tempat mereka
belajar pun ditutup. Para santri pun mau tak mau memilih jalan hidupnya masing-masing.
Alif yang lurus (diperankan oleh Cornelio Sunny) memilih untuk membela negara dengan
menjadi aparat kepolisian. Didasari dendam kepada pembunuh orang tuanya, ia bertekad
untuk senantiasa membela kebenaran, sekalipun harus menyerahkan orang-orang
terdekatnya kepada hukum. Lam (Herlam; Abimana Aryasatya) menjadi sang jurnalis
cerdas yang kritis, idealis namun tetap menomorsatukan keluarga dan akidahnya. Sementara
Mim (Mimbo; Agus Kuncoro) memilih mengabdikan hidupnya di jalan agama dengan
menjadi ustadz di pesantren.
Tahun berselang, ketiganya dipertemukan lagi oleh sebuah peristiwa
pengeboman di sebuah kafe. Pesantren Al-Ikhlas dituding menjadi pelaku
pengeboman sehingga Alif harus berhadapan dengan Mim, bahkan kyainya sendiri. Sementara
Lam terus berupaya menelusuri peristiwa ini, meski pekerjaannya sebagai
jurnalis media pro-pemerintah terancam. Permasalahan menjadi semakin kompleks
ketika Laras (Prisia Nasution) muncul. Mantan kekasih Alif ini, tanpa diduga
ternyata memegang peran kunci juga dalam rangkaian peristiwa ini. Pergolakan demi
mengungkap kebenaran inilah yang digulirkan dalam film arahan Anggy Umbara ini.
Di dunia yang penuh intrik, “kebenaran” demi kebenaran dikuliti secara menarik.
Ini yang membuat saya tetap setia menonton sambil terus berdecak kagum.
Dakwah
dalam Drama dan Action
Agama, khususnya Islam, memang menjadi salah satu topik yang
diketengahkan dalam film ini, di mana pada masa tersebut, Islam menjadi
minoritas. Nukilan sabda rosul yang ditampilkan di penghujung film menjadi
salah satu highlight dari cerita ini: Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam
keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu”. Mengingat film ini memotret kehidupan manusia di tahun 2036—21
tahun ke depan, di mana saat itu, usia saya juga kurang lebih sama dengan Alif
Lam dan Mim, saya pun berefleksi dan berprediksi mengenai kehidupan di zaman
itu. Akankah agama menjadi sedemikian asingnya di Negara Pancasila ini hingga
orang yang beribadah di tempat umum langsung dicap sebagai teroris dan
berbahaya? Sementara nilai-nilai yang menunjukkan islam sebagai rahmatan lil alamin menjadi semakin
kabur, digantikan oleh kepentingan duniawi. Semoga tidak.
Anggy—sang sutradara sekaligus penulis skenarionya—menyelipkan banyak
simbol berbau Islam dalam film ini. Sentimen terhadap perilaku dan atribut yang
dikenakan penganut Islam diekspos di
sini. Bahkan, departemen kepolisian tempat Alif bekerja, yang disebut Detasemen Anti Teror 38: 80-83, juga mengandung filosofi Islami. Sebagaimana dikupas oleh Jenar, angka tersebut merupakan perlambang Surat ke-38 dalam Alquran
ayat 80-83. Ayat tersebut menyajikan dialog antara iblis dan Tuhan, di mana
iblis bersumpah akan menyesatkan semua manusia, kecuali mereka yang mukhlis. Silakan
Anda menebak, siapakah yang menjadi personifikasi iblis dalam film ini.
Menariknya, di tengah simpang siur itu, sang sutradara terlihat ingin
menunjukkan bahwa sebenarnya Islam tidaklah sama dengan kekerasan. Islam bukan
juga jubah, sorban atau atribut lahiriah lainnya. Kyai Mukhlis sendiri
ditampilkan sebagai sosok pandai yang ahli dalam bidang pengobatan dan
berpakaian sederhana dengan kemeja dan celana. Beliau juga memiliki ketulusan
budi dalam membantu orang lain, termasuk yang sudah berbuat jahat kepadanya. Bahkan,
beliau pun melarang para muridnya membunuh para penjahat yang sudah mencelakai
mereka, terlebih di saat kondisi mereka dipenuhi amarah. Justru, tokoh
penyusuplah yang memasukkan pemahaman ekstremis yang dimanifestasikan dalam
aksi terorisme.
Dari segi cerita, film ini nyaris tanpa cela. Setiap adegan
terjalin dengan rapi, dengan twist berlapis.
Film ini dengan berani dan kreatif mengemas kisah bertema SARA dengan balutan modernisasi
dan tradisionalisme dalam waktu yang sama. Dialog yang ditampilkan juga tidak mubadzir. Penggunaan
dua bahasa dalam percakapan para tokohnya justru terkesan natural, tidak lebay
(kecuali di saat Tanta Ginting mengucapkan dialognya). Naskah apik ini juga
didukung dengan akting mumpuni dari sederetan
bintang berkualitas: Abimana Aryasetya, Agus Kuncoro, Cornelio Sunny, Prisia
Nasution, Tika Bravani, Cecep A. Rahman dan lain-lain.
Sebagai film yang bersetting futuristic,
efek-efek visual dalam film bisa dibilang cukup meyakinkan, meskipun dalam
beberapa adegan masih perlu penyempurnaan, seperti dalam adegan ledakan bom dan
adegan perkelahian yang ditampilkan dalam slow-motion.
Teknik bela diri (silat) yang ditampilkan juga mengesankan, terlebih di mata
saya yang awam dengan teknik-teknik tersebut. Adegan laga favorit saya adalah
saat Alif dan Mim bertarung di bawah guyuran hujan; kesan gagah dan dramatis
berpadu apik di sana.
Satu lagi yang perlu diacungi jempol, piranti yang digunakan dalam
film ini mampu menunjang aura futuristic
yang dibangun, seperti gadget yang semakin tipis, papan billboard yang
tersambung dengan koneksi internet dan fasilitas-fasilitas di gedung sekolah
dan perkantoran yang semakin canggih, serta lensa kontak yang menjadi spy camera.
Jika saya diminta memberi endorsement terhadap film ini, saya akan
mengatakan “’3’ cleverly grips the audience with its philosophical story, brilliant
dialogues and brave imagination”
P.S: Untuk yang ingin menonton, segeralah ke bioskop karena film
ini sepertinya kurang diminati dan sudah mulai turun layar. Di saat saya
menulis review ini saja, hanya ada dua bioskop yang memutarnya.
No comments:
Post a Comment