Dua Jam Menyingkap Tiga Dimensi Alif Lam Mim


Pertama kali menyaksikan trailer film “3” di televisi, saya langsung bertekad ingin menontonnya. Selain cuplikan-cuplikan adegan yang langsung “membekas”, di sana ada bintang favorit saya, Prisia Nasution, Tika Bravani dan Abimana. Apalagi, berdasarkan pengalaman, film Indonesia yang bagus (semacam Sang Penari dan Sang Kyai) jarang yang diputar di layar kaca maupun dijual dalam bentuk DVD.

Well, semenjak menit pertama film ini diputar, saya semakin yakin keputusan saya tepat. Setelah film “Killer” (2014), film ini adalah film produksi Indonesia kedua yang membuat saya tak henti-hentinya menahan napas dan tak berkedip selama menontonnya. Tak hanya itu, sepanjang film pula saya merasakan keterkejutan sementara otak saya aktif mengaitkan simbol-simbol yang terpampang di layar raksasa yang terbentang di hadapan saya.


source: http://www.beranda.co.id/wp-content/uploads/2015/09/3-alif-lam-mim.jpg


“Dunia ini bergerak dalam bentuk 3 dimensi. Jadi kita seharusnya bisa melihat setiap masalah dari tiga sudut pandang yang berbeda.”


Kutipan dialog yang diucapkan Lam, salah satu tokoh dalam film ini menjadi panduan bagi saya dalam mengikuti alur film ini. Selayaknya kita memang tidak melihat suatu hal sebagai kebenaran mutlak--dari satu sisi saja, apalagi di saat “kebenaran” bisa dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, sebagaimana yang kita lihat dalam film berdurasi 122 menit ini.

Dikisahkan, di tahun 2036, kondisi dunia, khususnya Indonesia semakin carut marut. Memang, di permukaannya, negara kita—yang sudah benar-benar menjadi negara liberal—seolah terlihat damai dan sangat menjunjung tinggi HAM. Namun kenyataannya, tindak kriminal justru didalangi dan dilaksanakan oleh para penegak hukum. Sementara agama dinilai sebagai sumber petaka dan simbol keagamaan pun menjadi momok yang menyeramkan tatkala ditunjukkan di tempat umum; bahkan mengucapkan salam pun langsung membuat kita dicurigai. Pemberitaan media dapat dengan mudah disetir oleh tangan yang berkuasa. Pendeknya, sungguh sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Di tengah situasi tersebut, hanya segelintir orang yang masih menjalankan ibadah sesuai agamanya. Alif, Lam, dan Mim adalah beberapa di antara golongan minoritas itu.

Alif Lam dan Mim merupakan sosok santri yang dipersatukan dalam padepokan bela diri dan mengaji di pondok pesantren Al-Ikhlas di bawah asuhan Kyai Mukhlis. Konflik bermula saat rumah Alif dibakar oleh sekelompok fanatik bersorban merah dan orang tuanya dibunuh. Tak lama, padepokan tempat mereka belajar pun ditutup. Para santri pun mau tak mau memilih jalan hidupnya masing-masing. Alif yang lurus (diperankan oleh Cornelio Sunny) memilih untuk membela negara dengan menjadi aparat kepolisian. Didasari dendam kepada pembunuh orang tuanya, ia bertekad untuk senantiasa membela kebenaran, sekalipun harus menyerahkan orang-orang terdekatnya kepada hukum. Lam (Herlam; Abimana Aryasatya) menjadi sang jurnalis cerdas yang kritis, idealis namun tetap menomorsatukan keluarga dan akidahnya. Sementara Mim (Mimbo; Agus Kuncoro) memilih mengabdikan hidupnya di jalan agama dengan menjadi ustadz di pesantren.

Tahun berselang, ketiganya dipertemukan lagi oleh sebuah peristiwa pengeboman di sebuah kafe. Pesantren Al-Ikhlas dituding menjadi pelaku pengeboman sehingga Alif harus berhadapan dengan Mim, bahkan kyainya sendiri. Sementara Lam terus berupaya menelusuri peristiwa ini, meski pekerjaannya sebagai jurnalis media pro-pemerintah terancam. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika Laras (Prisia Nasution) muncul. Mantan kekasih Alif ini, tanpa diduga ternyata memegang peran kunci juga dalam rangkaian peristiwa ini. Pergolakan demi mengungkap kebenaran inilah yang digulirkan dalam film arahan Anggy Umbara ini. Di dunia yang penuh intrik, “kebenaran” demi kebenaran dikuliti secara menarik. Ini yang membuat saya tetap setia menonton sambil terus berdecak kagum.


Dakwah dalam Drama dan Action

Agama, khususnya Islam, memang menjadi salah satu topik yang diketengahkan dalam film ini, di mana pada masa tersebut, Islam menjadi minoritas. Nukilan sabda rosul yang ditampilkan di penghujung film menjadi salah satu highlight dari cerita ini: Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu”. Mengingat film ini memotret kehidupan manusia di tahun 2036—21 tahun ke depan, di mana saat itu, usia saya juga kurang lebih sama dengan Alif Lam dan Mim, saya pun berefleksi dan berprediksi mengenai kehidupan di zaman itu. Akankah agama menjadi sedemikian asingnya di Negara Pancasila ini hingga orang yang beribadah di tempat umum langsung dicap sebagai teroris dan berbahaya? Sementara nilai-nilai yang menunjukkan islam sebagai rahmatan lil alamin menjadi semakin kabur, digantikan oleh kepentingan duniawi. Semoga tidak.

Anggy—sang sutradara sekaligus penulis skenarionya—menyelipkan banyak simbol berbau Islam dalam film ini. Sentimen terhadap perilaku dan atribut yang dikenakan  penganut Islam diekspos di sini. Bahkan, departemen kepolisian tempat Alif bekerja, yang disebut Detasemen Anti Teror 38: 80-83, juga mengandung filosofi Islami. Sebagaimana dikupas oleh Jenar, angka tersebut merupakan perlambang Surat ke-38 dalam Alquran ayat 80-83. Ayat tersebut menyajikan dialog antara iblis dan Tuhan, di mana iblis bersumpah akan menyesatkan semua manusia, kecuali mereka yang mukhlis. Silakan Anda menebak, siapakah yang menjadi personifikasi iblis dalam film ini.



Menariknya, di tengah simpang siur itu, sang sutradara terlihat ingin menunjukkan bahwa sebenarnya Islam tidaklah sama dengan kekerasan. Islam bukan juga jubah, sorban atau atribut lahiriah lainnya. Kyai Mukhlis sendiri ditampilkan sebagai sosok pandai yang ahli dalam bidang pengobatan dan berpakaian sederhana dengan kemeja dan celana. Beliau juga memiliki ketulusan budi dalam membantu orang lain, termasuk yang sudah berbuat jahat kepadanya. Bahkan, beliau pun melarang para muridnya membunuh para penjahat yang sudah mencelakai mereka, terlebih di saat kondisi mereka dipenuhi amarah. Justru, tokoh penyusuplah yang memasukkan pemahaman ekstremis yang dimanifestasikan dalam aksi terorisme.

Dari segi cerita, film ini nyaris tanpa cela. Setiap adegan terjalin dengan rapi, dengan twist berlapis. Film ini dengan berani dan kreatif mengemas kisah bertema SARA dengan balutan modernisasi dan tradisionalisme dalam waktu yang sama.  Dialog yang ditampilkan juga tidak mubadzir. Penggunaan dua bahasa dalam percakapan para tokohnya justru terkesan natural, tidak lebay (kecuali di saat Tanta Ginting mengucapkan dialognya). Naskah apik ini juga didukung dengan akting mumpuni dari  sederetan bintang berkualitas: Abimana Aryasetya, Agus Kuncoro, Cornelio Sunny, Prisia Nasution, Tika Bravani, Cecep A. Rahman dan lain-lain.

Sebagai film yang bersetting futuristic, efek-efek visual dalam film bisa dibilang cukup meyakinkan, meskipun dalam beberapa adegan masih perlu penyempurnaan, seperti dalam adegan ledakan bom dan adegan perkelahian yang ditampilkan dalam slow-motion. Teknik bela diri (silat) yang ditampilkan juga mengesankan, terlebih di mata saya yang awam dengan teknik-teknik tersebut. Adegan laga favorit saya adalah saat Alif dan Mim bertarung di bawah guyuran hujan; kesan gagah dan dramatis berpadu apik di sana.

Satu lagi yang perlu diacungi jempol, piranti yang digunakan dalam film ini mampu menunjang aura futuristic yang dibangun, seperti gadget yang semakin tipis, papan billboard yang tersambung dengan koneksi internet dan fasilitas-fasilitas di gedung sekolah dan perkantoran yang semakin canggih, serta lensa kontak yang menjadi spy camera.

Jika saya diminta memberi endorsement terhadap film ini, saya akan mengatakan “’3’ cleverly grips the audience with its philosophical story, brilliant dialogues and brave imagination”


P.S: Untuk yang ingin menonton, segeralah ke bioskop karena film ini sepertinya kurang diminati dan sudah mulai turun layar. Di saat saya menulis review ini saja, hanya ada dua bioskop yang memutarnya.       


Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment